Kalau Hidup Jadi Bulan-Bulanan


 Kadang aku suka kepikiran gimana rasanya jadi Pak Jokowi sekarang. Setelah masa kepemimpinan selesai, kasus-kasus yang dulu mungkin samar, sekarang makin ramai dibicarakan. Nama yang dulunya dielu-elukan, sekarang seolah jadi sasaran. Setiap hari orang ngomongin, setiap hari ada saja yang dikulik. Belum lagi anaknya yang juga kena imbas, ikut jadi bahan pembicaraan dan bulan-bulanan. Aku mikir, gimana caranya mereka menjalani hidup dengan kepala tegak, sementara hampir seluruh masyarakat merasa berhak mengomentari, menghakimi, bahkan menertawakan.

Aku nggak bisa ngebayangin kalau itu terjadi padaku. Aku yang cuma orang biasa aja rasanya udah sesak napas ketika ada beberapa orang yang menjelekkan, menuding, atau ngomongin di belakang. Apalagi kalau seluruh negeri ikut ngomongin? Rasanya kayak kehabisan oksigen, kayak setiap langkah yang diambil selalu salah. Aku aja, yang lingkupnya kecil, bisa kepikiran sampai pengen bunuh diri. Gimana mereka yang hidupnya terus terang-terangan dipajang di hadapan jutaan mata? Tiap gerak, tiap napas, tiap kata yang keluar, langsung jadi konsumsi publik.

Bayangin pagimu dibuka dengan berita buruk tentang dirimu. Bayangin malammu ditutup dengan komentar pedas dari orang-orang yang bahkan nggak kenal siapa kamu sebenarnya. Bayangin kalau satu keluarga ikut terseret, anak-anak ikut dihujat, dianggap cuma menumpang nama besar atau dipandang dengan curiga. Aku aja kalau ada satu dua orang yang ngomongin, bisa kepikiran berhari-hari, nggak bisa tidur, nggak bisa makan dengan tenang. Mereka, yang dibicarakan oleh ribuan bahkan jutaan mulut, gimana rasanya? Apakah mereka masih bisa tidur nyenyak, atau justru terbangun tengah malam sambil sesak napas?

Aku sering ngerasa kalau dunia ini kejam. Orang gampang banget melempar kata-kata, komentar, hinaan, tanpa mikir apa dampaknya buat yang dituju. Mungkin karena mereka nggak pernah kebayang gimana rasanya jadi orang yang dihakimi. Tapi aku tahu sedikit rasanya. Dan jujur, itu menyakitkan. Sakitnya bukan cuma di kepala atau di hati, tapi bisa terasa sampai ke tubuh. Nafas jadi berat, dada sesak, tangan gemetar. Seolah-olah tubuh ini ikutan mogok karena nggak sanggup nahan semua beban itu.

Aku sering kepikiran, mungkin itu kenapa aku gampang merasa putus asa. Kalau cuma beberapa orang saja udah bisa bikin aku terkapar, gimana kalau seisi negeri? Nggak heran kalau pikiran buat mengakhiri hidup sering datang. Karena rasanya kayak udah nggak ada jalan keluar. Mau maju, salah. Mau mundur, salah. Mau diem pun, tetap salah. Seolah-olah apa pun yang dilakukan, tetap akan jadi bahan tertawaan orang. Dan semakin lama, semakin aku percaya bahwa nggak ada ruang untuk memperbaiki diri ketika nama udah terlanjur buruk di mata orang banyak.

Mungkin karena aku pengen tahu, apakah mereka juga pernah sesak kayak aku? Apakah mereka juga pernah sampai mikir, “Udah lah, lebih baik selesai aja semuanya”? Karena aku sering banget ada di titik itu. Duduk sendirian, mikir kalau hidup ini nggak ada harganya lagi. Kalau aku hilang, nggak ada yang benar-benar peduli. Jadi apa gunanya bertahan? Dan ketika bayangan itu makin kuat, aku jadi takut sama diriku sendiri. Takut kalau suatu saat aku nggak bisa lagi nahan dan benar-benar melakukannya.

Jadi aku mikir lagi soal Pak Jokowi dan keluarganya. Mereka mungkin punya tembok besar, punya rumah megah, punya kekuasaan, tapi tetap aja, nggak ada satu pun yang bisa benar-benar menutup telinga dari suara-suara bising itu. Dan aku nggak tahu gimana mereka bisa bertahan. Aku sendiri aja, rasanya tiap hari udah seperti bertarung dengan pikiran gelap. Dan semakin lama, semakin aku capek dengan pertarungan itu. Kadang aku merasa kalau bisa, aku ingin kabur dari semua ini. Tapi nggak tahu harus ke mana. Jadi aku cuma bisa duduk, diam, dan membiarkan sesak itu makin menekan, sambil berharap entah bagaimana aku bisa bertahan sampai besok pagi.





sumber foto

Comments

Popular Posts