Ketakutanku, Aku, dan Pikiran yang Tak Mau Pergi
Belakangan ini, aku merasa makin penakut. Hal-hal yang dulu biasa saja, sekarang jadi beban berat. Bertemu orang? Rasanya pengen menghindar sejauh mungkin. Ngomong di depan orang lain? Jangankan bicara panjang, membuka mulut pun terasa menakutkan. Seakan-akan setiap interaksi adalah medan perang yang siap melukai. Dan entah kenapa, ketakutan itu muncul tanpa alasan yang jelas.
Di tengah semua itu, kadang ada pikiran yang tiba-tiba mampir: mati mungkin pilihan terbaik. Aku nggak akan bohong, beberapa kali pikiran itu datang seperti ombak—naik, menghantam, lalu surut. Tapi yang bikin aneh, aku juga sadar kalau itu bukan solusi. Mati nggak akan menyelesaikan masalah, cuma memotong cerita sebelum waktunya. Masalahnya, pikiran itu nggak peduli logika. Dia cuma datang, duduk di kepalaku, dan bikin suasana makin berat.
Aku mencoba melawan dengan berpikir, “Nanti juga hilang.” Tapi kadang, rasa takut dan putus asa ini seperti kabut tebal—meski aku tahu matahari ada di baliknya, aku tetap nggak bisa melihat terang. Hari-hari jadi terasa seperti lorong panjang yang nggak jelas ujungnya.
Orang mungkin mengira aku lemah. Padahal, yang mereka nggak tahu adalah, setiap hari aku sedang berjuang keras untuk tetap di sini. Bangun dari tempat tidur, menatap orang lain, bahkan membalas pesan singkat—semuanya butuh energi besar. Dan aku capek, tapi tetap melakukannya. Karena di satu sisi, aku masih punya sedikit harapan bahwa rasa ini akan reda.
Aku tahu, aku nggak akan bisa menghilangkan ketakutan dalam semalam. Mungkin aku nggak akan pernah kembali jadi orang yang sama seperti dulu. Tapi mungkin… aku bisa belajar hidup dengan rasa takut itu. Pelan-pelan, satu langkah kecil setiap hari. Mungkin hari ini aku hanya berani membalas chat. Besok, mungkin berani keluar sebentar. Dan itu nggak apa-apa.
Pikiran tentang “mengakhiri” mungkin akan datang lagi. Tapi aku akan mencoba mengingat bahwa aku pernah melewati hari-hari yang juga berat, dan tetap bertahan. Kalau aku bisa melakukannya kemarin, mungkin aku bisa melakukannya besok. Karena meskipun dunia terasa sempit, aku ingin percaya bahwa ada satu titik di masa depan di mana aku bisa bernapas lega lagi.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!