Cap Pembohong dan Muka Cupu

 

Aku pernah nggak sengaja dengar bisik-bisik orang. 

Suaranya samar, tapi jelas-jelas isinya nyebut aku, “Itu laki-laki pembohong.” 

Rasanya kayak dilempar batu kecil, nggak sampai bikin berdarah, tapi cukup bikin kepala nengok dan hati terdiam sebentar. 

Siapa yang bilang? Ah gampang, aku tandai. Dia, dia, dia, dan dia. 

Orang-orang itu sudah kutulis dalam catatan kepalaku. Bukan buat dendam, tapi sekadar ingat bahwa ternyata nama kita sering dipakai jadi bahan obrolan murahan.

Lucunya, aku nggak merasa benci. Serius, benci itu terlalu berat kalau harus ditenteng tiap hari. Kalau aku sampai ikut benci, artinya aku ngasih energi gratis ke orang-orang yang bahkan nggak akrab sama aku. Kayak buang bensin ke api, padahal aku sendiri butuh bensin buat jalan. Jadi ya sudahlah, biar mereka bersenang-senang dengan cerita versi mereka. Aku? Aku pilih nulis aja, numpahin yang kusimpen di kepala, biar lega, biar nggak nyangkut jadi penyakit hati.

Dari dulu kasusnya emang sama. Aku sering jadi orang yang nggak gampang berbaur. Mungkin wajahku yang kaku, atau sifatku yang pendiem, bikin orang gampang salah paham. Kadang mereka pikir aku sombong, kadang juga nganggep aku cuek, padahal sebenarnya aku cuma nggak tahu harus ngomong apa. Dan seperti biasa, kalau ada orang yang beda sedikit dari kebanyakan, biasanya langsung dicap. Nggak ikut nongkrong, nggak ikut ketawa, udah langsung dicurigai. Lama-lama, ya terbentuklah cerita-cerita aneh yang nggak pernah aku klarifikasi, karena buat apa?

Hari ini aku dicap pembohong. Besok mungkin dibilang sok alim. Lusa bisa aja disebut nggak setia kawan. Dan aku nggak heran lagi. Label datang dan pergi, tapi aku tetap orang yang sama. Kalau aku peduliin semua bisik-bisik itu, aku nggak bakal punya ruang buat jadi diriku sendiri. Maka pilihanku sederhana, aku tulis di sini. Aku jadikan blog ini wadah buat mindahin semua racun yang orang-orang lempar. Begitu aku selesai nulis, aku bisa tutup laptop, tarik napas, dan balik jadi “setelan semula”: muka cupu yang kelihatan polos, padahal dalam hati aku tahu banyak tentang karakter-karakter mereka.

Karena, percayalah, orang yang diam bukan berarti nggak tahu apa-apa. Justru diam sering bikin aku punya waktu lebih buat ngamatin. Dari cara mereka ngomong, dari ekspresi wajah, dari bisik-bisik kecil, aku tahu siapa yang sebenarnya tulus dan siapa yang cuma bisa main belakang. Dan ironisnya, orang-orang yang paling suka ngomongin aku biasanya adalah mereka yang paling sibuk nutupin aibnya sendiri. Tapi aku nggak akan bongkar. Biarlah mereka sibuk menata kebencian, aku sibuk menata tulisan.

Jadi kalau ada yang bilang aku pembohong, ya silakan. Itu cuma kata. Aku nggak bisa kontrol apa yang keluar dari mulut mereka. Tapi aku bisa kontrol apa yang aku pikirkan, apa yang aku rasakan, dan apa yang aku tulis. Dan menulis selalu jadi jalan pulangku. Jalan untuk melupakan semua label yang mereka tempelkan, dan mengingat siapa sebenarnya diriku.

Pada akhirnya, aku nggak butuh mereka percaya. Aku cuma butuh tenang. Dan tenang itu biasanya datang setelah semua racun kutumpahkan di sini, di halaman-halaman yang mungkin nggak pernah mereka baca.

Comments

Popular Posts