Dipermalukan Takdir, atau Sedang Diajak Sadar?
Kadang aku bertanya-tanya dalam hati: sebenarnya ini semua ujian atau hanya lelucon hidup yang terlalu kejam? Rasanya seperti lagi dijadikan bahan candaan sama keadaan. Bulan lalu aku dipermalukan sedalam itu, di depan orang-orang, di depan mereka yang diam-diam menunggu aku jatuh. Luka itu masih terasa. Bukan hanya soal kejadian yang menohok, tapi juga tatapan orang sekitar yang membuat aku merasa kecil sekali. Sampai-sampai aku bertanya, “Ya Allah, kenapa harus aku yang ditunjuk untuk menanggung ini semua?”
Tapi di sisi lain, ada suara kecil di dalam hati yang bilang, mungkin ini bukan sekadar dipermalukan. Mungkin sebenarnya aku sedang dibuat sadar. Karena kadang manusia baru benar-benar bangun ketika ditampar kenyataan. Kita terlalu sering merasa bisa mengendalikan segalanya, terlalu percaya diri bahwa hidup ini bisa kita atur sesuai kemauan. Padahal, pada akhirnya takdir bisa menundukkan kita dalam sekejap, dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan.
Aku jadi ingat kata-kata Umar bin Khattab, beliau pernah berkata: “Tidaklah aku peduli dengan keadaan yang menimpaku, apakah aku suka atau tidak, karena aku tidak tahu di mana kebaikan itu berada. Mungkin sesuatu yang aku benci justru ada kebaikan di dalamnya.” Barangkali rasa malu yang aku tanggung kemarin adalah jalan Tuhan membersihkan aku dari kesombongan yang tak kusadari. Mungkin juga itu cara Allah mengajarkanku rendah hati, agar aku tahu bahwa manusia bukan apa-apa tanpa pertolongan-Nya.
Kalau dipikir-pikir lagi, bukankah banyak dari kita justru belajar hal besar dari kegagalan dan rasa malu? Kita jarang sekali belajar dari pujian. Kita jarang sadar saat semua berjalan mulus. Tapi ketika tersungkur, ketika orang-orang menertawakan, barulah kita menoleh ke atas, mencari makna, mencari pegangan. Mungkin ini juga yang sedang Allah inginkan dari aku. Bukan untuk dipermalukan, tapi untuk diarahkan.
Sakitnya masih ada, jelas. Tapi rasa sakit ini juga membuka ruang baru. Ruang untuk mengenali diri sendiri lebih dalam. Ruang untuk menata hati, supaya tidak lagi terlalu menggantungkan hidup pada pandangan manusia. Karena apa gunanya dipuji mereka, kalau akhirnya kosong di hadapan Allah? Dan sebaliknya, apa ruginya dicemooh mereka, kalau Allah justru sedang memuliakan lewat cara yang tak terlihat?
Jadi sekarang, meski kadang masih ada rasa getir, aku mencoba membalikkan cara pandangku. Mungkin bulan lalu aku bukan sedang jadi bahan candaan hidup. Mungkin aku sedang dijemput oleh kenyataan, untuk sadar bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki. Karena sesungguhnya, dipermalukan manusia itu kecil dibandingkan kalau Allah sendiri yang menegur dengan cara yang lebih keras. Maka biarlah rasa malu ini jadi pengingat, bahwa setiap luka selalu membawa pesan, dan setiap kejadian pahit selalu punya hikmah yang lebih besar.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!