Maaf Itu Nggak Cukup. ada “biaya” yang harus kubayar


People need to understand that even if you’re genuinely sorry, you still have to deal with the consequences. 

Dan jujur aja, itulah yang harus aku pahami sekarang. Aku sudah meminta maaf, dengan sungguh-sungguh. Aku sudah coba menundukkan kepala, meredam ego, bahkan menelan rasa malu. Tapi ternyata, itu nggak serta-merta bikin semuanya selesai. Nyatanya, ada sanksi sosial yang tetap harus aku jalani.

Lucu sih kalau dipikir-pikir. Kita sering diajarkan kalau maaf itu adalah kunci perdamaian, jalan keluar dari segala masalah. Tapi di dunia nyata, maaf itu hanya tiket masuk ke babak baru yang namanya “konsekuensi”. Orang boleh saja bilang, “Ya sudah, dimaafkan,” tapi cara mereka memperlakukanmu bisa tetap berbeda. Sikap mereka berubah, tatapan mereka dingin, obrolan mereka jadi setengah-setengah. Itu bentuk hukuman yang nggak pernah diumumkan, tapi bisa terasa jelas setiap kali aku melangkah di ruang yang sama dengan mereka.

Aku jadi sadar, sanksi sosial itu jauh lebih rumit daripada hukuman resmi. Kalau hukuman resmi, jelas aturannya, sekian waktu, sekian denda, selesai. Tapi sanksi sosial? Itu nggak ada batas waktunya. Bisa sebulan, bisa setahun, bisa seumur hidup. Tergantung bagaimana orang lain memilih mengingat kesalahanku. Dan jujur, itu yang bikin aku kadang ngos-ngosan menghadapi hari-hari.

Ada bagian diriku yang pengin berontak, yang bilang, “Hei, aku udah minta maaf, apa nggak cukup?” Tapi kemudian aku sadar, nggak ada kewajiban buat mereka melupakan. Mereka punya hak untuk tetap kecewa, punya hak untuk menjaga jarak. Dan di titik itu, aku harus belajar menerima. Berat, iya. Nggak adil? Mungkin. Tapi beginilah kenyataannya.

Sekarang aku lebih banyak ngobrol sama diriku sendiri, nyari cara biar nggak makin jatuh. Aku bilang ke diriku, kalau maaf memang bukan obat mujarab yang langsung menyembuhkan segalanya. Maaf hanya langkah awal, selebihnya aku harus kuat menghadapi konsekuensi. Termasuk dinginnya sikap orang, gosip yang masih beredar, dan tatapan penuh curiga.

Dan sanksi sosial ini mungkin memang bentuk “biaya” yang harus kubayar. Bukan untuk menyiksa, tapi untuk mengingatkan. Supaya aku lebih hati-hati, lebih bijak, dan lebih tahu bahwa setiap perbuatan ada akibatnya, meski kita sudah menyesal. Jadi, meskipun kadang sakit, aku mencoba bertahan. Karena siapa lagi yang bisa benar-benar memahami proses ini selain aku sendiri?

Comments

Popular Posts