Takdir, Karma, dan Lupa Bersyukur
Jika semuanya sempurna, takutnya kita lupa bersyukur.
Kalimat itu terus bergema di kepalaku belakangan ini. Mungkin memang begitulah hidup: tidak selalu mulus, tidak selalu sesuai keinginan, tidak selalu berjalan lurus tanpa hambatan. Ada rasa pahit, ada luka, ada air mata yang jatuh tanpa bisa ditahan. Dan di tengah semua itu, aku sering kali mempertanyakan: ini takdir atau karma? Apa aku sedang diuji Tuhan, atau sedang dipaksa menelan akibat dari kesalahan yang pernah kulakukan?
Kadang aku duduk sendiri, mengingat kembali langkah-langkah masa lalu. Ada keputusan yang salah. Ada sikap yang menyakiti. Ada ego yang terlalu besar. Lalu sekarang, ketika rasa sakit datang, aku bertanya-tanya, apakah ini balasan? Apakah semua air mata yang jatuh sekarang adalah hutang yang harus kubayar dari masa lalu? Atau sebaliknya, ini hanya ujian. Ujian untuk menguatkan hati, untuk mendewasakan jiwa, agar aku bisa lebih bijak dalam melangkah. Aku bingung. Aku ragu. Tapi yang jelas, aku merasakannya—beban itu nyata.
Lalu aku berpikir, seandainya hidup ini selalu sempurna, apa aku akan tetap ingat Tuhan? Apa aku akan tetap menengadahkan tangan, berdoa dengan sungguh-sungguh, menangis dengan tulus? Atau jangan-jangan aku akan terlalu sibuk tertawa, terlalu asyik menikmati kesenangan, sampai lupa bahwa semua itu hanyalah titipan? Rasa takut itu nyata. Takut jika kesempurnaan justru membuatku sombong, membuatku merasa mampu berdiri sendiri, tanpa perlu bergantung pada Sang Maha Kuasa.
Mungkin itulah sebabnya hidupku tidak pernah lurus tanpa gelombang. Mungkin Tuhan sengaja membiarkan luka datang, agar aku tetap ingat untuk bersyukur di tengah sakit. Mungkin Tuhan sengaja menuliskan takdir yang berliku, agar aku tidak pernah merasa cukup hanya dengan diriku sendiri. Dan mungkin, ada benarnya juga bahwa setiap sakit yang kutelan adalah cara Tuhan menegurku, mengingatkanku, bahwa ada hal-hal yang harus kutata kembali dalam hidup.
Aku akui, kadang aku marah. Kadang aku kecewa. Kadang aku merasa hidup tidak adil. Tapi perlahan aku belajar menerima. Karena kalau dipikir-pikir, justru di saat-saat sakit itu aku bisa merasakan betapa dekatnya aku dengan doa. Justru di saat-saat sulit, aku bisa melihat siapa yang benar-benar peduli. Dan justru ketika terjatuh, aku belajar berdiri lagi dengan cara yang lebih hati-hati.
Jadi sekarang, meski aku masih mempertanyakan antara takdir dan karma, aku ingin tetap belajar bersyukur. Bersyukur meski tidak sempurna. Bersyukur meski jalannya penuh luka. Karena mungkin, inilah cara Tuhan menjagaku. Jika semuanya sempurna, aku takut sekali lupa bersyukur. Dan lupa bersyukur, mungkin itu jauh lebih berbahaya daripada semua sakit yang kini kutanggung.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!