Yang tidak ingin kamu rasakan, jangan lakukan itu pada orang lain
“Yang tidak ingin kamu rasakan, jangan lakukan itu pada orang lain.”
Teorinya sesederhana itu. Bahkan anak kecil pun bisa mengerti kalimat ini. Tapi kenyataannya? Tidak semudah itu. Karena sering kali, kita baru sadar kalau kita menyakiti orang lain setelah semuanya sudah terlanjur terjadi. Setelah kata-kata sudah keluar, setelah sikap sudah terlihat, setelah ekspresi mereka berubah, dan setelah diam mereka jadi tanda luka yang mungkin kita tinggalkan.
Aku sering bertanya-tanya, kenapa manusia bisa begitu? Padahal di kepala, kita tahu jelas teori tentang empati, tentang tidak menyakiti, tentang berbuat baik. Tapi di praktiknya, kita sering kebablasan. Kadang bukan karena niat jahat, tapi karena kita terbiasa melihat hidup dari sudut pandang kita sendiri. Kita lupa berhenti sejenak dan bertanya, “Kalau aku diperlakukan seperti ini, apa aku sanggup?” Dan kelupaan itu yang membuat kita secara tidak sadar jadi pelaku, bukan korban.
Contoh kecilnya saja, ketika sedang emosi. Kita marah, lalu melempar kata-kata tajam. Saat itu rasanya lega, rasanya kita benar, rasanya kita hanya menyalurkan perasaan. Tapi setelah marah reda, barulah sadar bahwa kalimat itu menancap di hati orang lain. Luka yang tertinggal tidak selalu bisa sembuh hanya dengan kata “maaf.” Di titik itu, kita sadar bahwa teori sederhana tadi sebenarnya sudah kita langgar. Bukan karena tidak tahu, tapi karena tidak sadar saat melakukannya.
Ada juga momen ketika kita merasa sedang bercanda. Buat kita, itu lelucon ringan, tapi buat orang lain, itu mungkin penghinaan yang menusuk. Dan ironisnya, kita baru menyadari ketika ekspresi wajahnya berubah, atau ketika hubungan yang tadinya dekat tiba-tiba menjauh. Saat itu kita merasa bersalah, merasa tidak enak, tapi nasi sudah jadi bubur. Lagi-lagi, teori yang gampang itu kalah dengan praktik yang ternyata jauh lebih rumit.
Hal ini bikin aku berpikir: mungkin manusia memang diciptakan dengan celah seperti ini. Kita tidak bisa selalu jadi sempurna dalam hal menjaga hati orang lain. Kadang kita salah, kadang kita khilaf, kadang kita lalai. Dan kesadaran itu baru muncul setelah semuanya terlambat. Justru dari situ, kita dipaksa belajar. Bahwa jadi baik itu bukan soal tahu teori, tapi soal terus mengasah kesadaran setiap kali berhadapan dengan orang lain.
Mungkin, pelajaran paling penting adalah menerima bahwa kita bisa saja jadi orang yang menyakiti tanpa sadar. Dan dengan kesadaran itu, kita bisa lebih berhati-hati, lebih pelan dalam bertindak, lebih lembut dalam berbicara. Karena luka tidak selalu datang dari niat jahat, tapi sering lahir dari kelalaian yang kecil.
Jadi, meski teori “jangan lakukan pada orang lain apa yang kamu tidak mau rasakan” terdengar gampang, prakteknya ternyata butuh kesadaran yang panjang. Dan kesadaran itu tidak datang sekaligus. Ia tumbuh dari rasa bersalah, dari kegagalan menjaga, dan dari keberanian untuk mengakui bahwa kita pernah salah. Tanpa itu, teori akan tetap jadi teori. Tapi dengan itu, mungkin kita bisa sedikit lebih manusiawi. Sedikit lebih berhati-hati. Sedikit lebih belajar untuk tidak mengulanginya lagi.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!