Sindiran atau Sekadar Pikiran?

 


Kadang aku bingung sendiri, mereka itu sebenarnya sedang menyindirku, atau akunya aja yang terlalu overthinking? Pertanyaan itu sering banget berputar di kepala. Tapi kalau dipikir-pikir, rasanya nggak mungkin aku sepenuhnya salah membaca. Karena aku cukup peka dengan intonasi suara, pilihan kata, bahkan gerak-gerik kecil yang mungkin mereka kira nggak terlihat. Ada sesuatu di balik kalimat mereka yang terasa janggal, dan hati kecilku menangkapnya.

Masalahnya, sindiran itu sering datang berkali-kali. Nggak cuma sekali dua kali. Kalau hanya sekali, mungkin aku bisa anggap itu kebetulan. Tapi ketika nada yang sama muncul berulang, dengan cara yang mirip, bagaimana bisa aku menutup mata? Batin ini secara otomatis merekam, menyatukan potongan-potongan kecil, lalu membentuk kesimpulan. Meski aku jarang menanggapi, tapi dalam hati, aku tahu: “Oh, mereka sedang bicara tentangku.”

Lucunya, setiap kali itu terjadi, aku hanya tersenyum dalam hati. Bukan karena aku nggak merasa apa-apa, tapi lebih ke memilih untuk nggak menambah energi ke arah yang bikin sesak. Kalau aku meladeni, malah akan makin keruh. Jadi lebih baik aku simpan, aku bungkus dengan senyum yang cuma aku yang tahu maknanya. Senyum itu jadi semacam tameng, biar mereka nggak bisa menebak isi hatiku.

Kadang aku berpikir, kenapa sih orang-orang suka sekali bermain sindiran? Kenapa nggak bicara saja secara langsung? Apa karena mereka takut konfrontasi? Atau justru sengaja ingin membuat lawannya bingung? Kalau benar begitu, berarti sindiran itu bukan sekadar kata, tapi juga strategi. Dan mungkin di situlah tantangannya, bagaimana aku bisa tetap tenang meski jadi targetnya.

Tentu saja, ada saatnya aku ragu pada diriku sendiri. “Apa jangan-jangan aku yang terlalu sensitif? Apa jangan-jangan semua ini cuma khayalan yang aku buat sendiri?” Tapi di sisi lain, rasa peka ini sudah terlalu sering terbukti. Aku tahu bedanya kata-kata yang tulus dengan kata-kata yang menyimpan maksud lain. Jadi, aku memilih percaya pada intuisi, meski orang lain mungkin menganggapku berlebihan.

Pada akhirnya, aku belajar satu hal: aku nggak bisa mengontrol cara mereka bicara, tapi aku bisa memilih cara merespons. Entah itu dengan diam, dengan senyum tipis, atau dengan hati yang menolak terjebak. Karena sindiran itu ibarat batu kecil yang dilempar, kalau aku biarkan jatuh begitu saja, dia nggak akan melukaiku. Tapi kalau aku pungut lalu kusimpan dalam hati, aku sendiri yang akan merasa berat.





sumber foto

Comments

Popular Posts