adaptive withdrawal


Beberapa orang mungkin gak paham apa itu adaptive withdrawal yang lagi aku jalanin hampir beberapa bulan ini. Jujur aja, istilahnya aja mungkin kedengeran ribet, apalagi praktiknya. Intinya sederhana,  aku mundur selangkah, narik diri, bukan buat kabur, tapi buat bertahan. Tapi ya namanya juga orang lain, mereka jarang mau repot-repot ngerti. Lebih gampang nebak-nebak, lebih seru bikin cerita versi mereka sendiri.

Aku bisa ngerasain kok. Ada yang mulai berbisik, ada yang terang-terangan ngecap. 

“Dia kenapa sih sekarang?” 

“Kayaknya drop.” 

“Fix, kalah.” 

Analisis liar bertebaran, kayak semua orang tiba-tiba jadi psikolog dadakan, padahal yang mereka pegang cuma potongan cerita. Mereka gak tahu apa yang aku hadapi, gak ikut ngerasain sesaknya kepala, capeknya batin, atau ributnya pikiran yang tiap malam gak mau diam.

Dan anehnya, selalu ada tipe orang yang bersorak. Yang senyum puas karena merasa berhasil menenggelamkanku. Seolah mundurnya aku adalah kemenangan buat mereka. Seolah diamku adalah bukti mereka benar. Padahal mereka gak sadar, yang mereka rayakan itu bukan kejatuhanku, tapi jedaku. Tapi ya sudahlah. Kalau itu bikin mereka merasa hidupnya lebih berarti, silakan.

Adaptive withdrawal ini bukan drama. Bukan minta dimengerti. Ini cuma caraku buat tetap waras. Aku berhenti muncul bukan karena habis, tapi karena lagi nabung tenaga. Aku berhenti bicara bukan karena kalah argumen, tapi karena capek jelasin diri ke orang yang niatnya gak mau ngerti. Kadang, menjauh adalah satu-satunya bentuk perlindungan yang tersisa.

Lucunya, di fase ini aku justru belajar banyak. Tentang siapa yang benar-benar peduli tanpa kepo. Tentang siapa yang hanya hadir saat aku terlihat “berguna”. Tentang betapa cepatnya orang mengubah diam menjadi tuduhan. Dari situ aku paham, gak semua orang pantas dikasih akses ke proses pulihku.

Ada hari-hari di mana aku ngerasa kosong, iya. Ada momen ragu, juga. Tapi anehnya, ada juga ketenangan kecil yang pelan-pelan tumbuh. Karena untuk pertama kalinya setelah lama, aku berhenti bereaksi terhadap ekspektasi orang. Aku berhenti jadi versi diriku yang bisa ditafsir seenaknya. Aku memilih jadi manusia yang lagi belajar napas pelan-pelan.

Kalau mereka mau bilang aku tenggelam, silakan. Kalau mereka mau bersorak, ya tepuk tanganlah sepuasnya. Aku gak lagi punya energi buat meluruskan persepsi yang gak niat diluruskan. Ada hal-hal yang memang harus dijalani sendirian, tanpa klarifikasi, tanpa pembelaan.

Dan di titik ini, aku cuma mau bilang satu hal, ke diriku sendiri, terutama, bodo amatlah. Karena hidupku bukan panggung pembuktian buat orang lain. Ini cuma perjalanan seorang manusia yang lagi belajar bertahan dengan caranya sendiri.

Comments

Popular Posts