Capek Bukan Karena Hidup, Tapi Karena Negara Ikut Campur di Kepala
Belakangan timeline medsosku agak aneh. Isinya bukan cuma orang pamer kopi atau liburan, tapi ada curhatan soal harus ke psikolog gara-gara kebijakan pemerintah. Bukan karena putus cinta, bukan karena konflik keluarga, bahkan bukan karena drama kantor. Tapi murni karena negara. Jujur, di kepalaku muncul satu pertanyaan polos tapi agak nyeletuk, kok bisa sih orang stres mikirin kebijakan pemerintah sampai segitunya?
Aku nanya gitu bukan sok kuat, bukan juga sok bodo amat. Soalnya aku sendiri bukan tipe orang yang ngikutin berita. Udah bertahun-tahun aku gak nonton TV. Gak buka portal berita. Gak sengaja nyemplung ke diskusi politik. Hubunganku sama berita itu bisa dibilang putus secara sepihak. Aku cabut tanpa pamit. Kalaupun sekarang masih tahu dikit-dikit, itu cuma karena lewat di beranda medsos. Itupun sering cuma sekilas, keburu ku-skip.
Aku juga bukan tipe orang yang kepo sama hidup orang lain. Sampai tetanggaku pernah nyeletuk, katanya aku itu kalau jalan ya cuma lihat jalannya. Orang di pinggir jalan gak pernah kulihat. Aku gak tahu siapa berantem sama siapa, siapa lagi kesusahan, siapa lagi sukses. Bukan karena aku gak peduli, tapi karena kepalaku memang gak otomatis nangkep hal-hal itu. Fokusku lurus ke depan, kayak kuda pakai penutup mata.
Dari situ juga mulai muncul label. Egois. Antisosial. Dingin. Sok individualis. Padahal kalau mau jujur, ini bukan soal gak peduli, tapi soal bertahan. Aku tahu batas kepalaku. Aku tahu kapasitas emosiku. Dan aku tahu, kalau aku ikut nyemplung ke semua isu, apalagi isu negara yang kadang absurdnya kebangetan, kepalaku bisa jebol juga.
Makanya waktu lihat orang stres berat mikirin kebijakan pemerintah, aku campur aduk. Di satu sisi aku heran. Di sisi lain, aku paham. Karena buat sebagian orang, negara itu bukan cuma sistem abstrak. Dia hadir di harga beras, di biaya sekolah, di ongkos rumah sakit, di peluang kerja. Jadi ketika kebijakan terasa ngawur, yang kena bukan cuma grafik atau angka, tapi perut dan masa depan. Wajar kalau kepala jadi penuh.
Mungkin bedanya aku dan mereka cuma satu, aku memilih menjauh. Mereka memilih terlibat. Aku memilih menutup telinga demi kewarasan. Mereka memilih mendengar demi kepedulian. Gak ada yang sepenuhnya salah. Tapi juga gak ada yang sepenuhnya aman. Karena menjauh bisa bikin dibilang apatis. Terlalu dekat bisa bikin mental remuk.
Kadang aku mikir, jangan-jangan egois itu bukan soal gak peduli orang lain, tapi soal memilih apa yang mau kita bawa ke dalam kepala. Dan mungkin, di dunia yang ributnya gak ada rem, bersikap “bodo amat” sedikit itu bukan dosa, tapi mekanisme bertahan hidup.






Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!