Hakim Dadakan di Timeline


Sekarang ini rasanya gampang banget nemu orang bersalah di internet. Bukan karena kesalahannya makin banyak, tapi karena orang-orang makin rajin nyari, motret, ngerekam, lalu… memviralkan. Sekali ada yang kepleset dikit, langsung diseret rame-rame ke alun-alun digital. 

Aku sering mikir, ini sebenarnya fenomena apa sih? Apakah demi efek jera? Atau jangan-jangan, kita lagi senang-senangnya main jadi Tuhan, milih siapa yang pantas dihukum dan siapa yang layak dihancurkan?

Yang bikin aku merinding bukan cuma viralnya, tapi semangatnya. 

Ada aura puas di balik caption panjang itu. Ada kebahagiaan aneh saat melihat orang lain jatuh, dipermalukan, dan diseret masa lalunya. Kayak ada lomba,  siapa yang paling cepat, paling keras, paling kejam. Padahal kesalahannya kadang sepele. Kadang konteksnya nggak utuh. Kadang malah cuma potongan cerita. Tapi ya itu tadi, siapa peduli kebenaran kalau postingan bisa rame?

Aku sering ngerasa, orang-orang ini menakutkan. Bukan karena mereka benar, tapi karena mereka seolah nggak pernah merasa salah. Seolah hidup mereka bersih, suci, tanpa cacat. Mereka lempar batu dengan tangan penuh keyakinan, tanpa sadar kalau suatu hari, batu yang sama bisa dilempar balik. Bedanya cuma satu, waktu.

Ironisnya, kita hidup di masyarakat yang katanya religius. Tuhan saja, dalam banyak ajaran, digambarkan Maha Pengampun. Bahkan untuk dosa besar, selalu ada pintu taubat. Tapi manusia? Sedikit salah, langsung dihukum seumur hidup lewat jejak digital. Nggak ada ruang minta maaf. Nggak ada jeda untuk menjelaskan. Yang ada cuma vonis kolektif: batal, hancurkan, habisi.

Yang lebih jujur lagi, kadang motifnya bukan keadilan. Tapi engagement. Like. Share. Komentar. Notifikasi yang bunyi terus. Ada dopamin di situ. Ada rasa “aku penting” karena postinganku viral. Jadi jangan heran kalau belas kasihan jadi barang langka. Empati kalah sama reach. Akal sehat kalah sama algoritma.

Aku bukan bilang semua kesalahan harus ditutup-tutupi. Ada kejahatan yang memang harus diungkap. Ada ketidakadilan yang perlu disuarakan. Tapi jujur aja, garis antara memperjuangkan kebenaran dan memuaskan ego itu sekarang makin tipis. Kadang yang satu cuma jadi kedok buat yang lain.

Aku pernah ada di posisi jatuh. Pernah ngerasain gimana rasanya ditatap sebagai “orang bermasalah”. Dan dari situ aku belajar satu hal, bangkit itu susah, tapi dijatuhkan itu gampang banget. Tinggal satu klik. Satu unggahan. Selesai.

Mungkin yang perlu kita tanyakan ke diri sendiri sebelum ikut-ikutan memviralkan,  kalau aku yang ada di posisi dia, aku masih ingin diperlakukan seperti ini nggak? Kalau jawabannya ragu, mungkin kita perlu berhenti sejenak. Menarik napas. Dan mengingat, bahwa kita semua, tanpa kecuali, punya dosa, cuma belum tentu dosanya sempat viral.

Comments

Popular Posts