Jarak yang Terlambat Disadari
Akhir-akhir ini linimasa media sosialku penuh sama berita perselingkuhan. Dari yang viral, yang dibungkus drama, sampai yang diceritakan seolah-olah wajar. Entah kenapa, algoritma kayak tahu aku sering mikir soal ini. Bukan karena aku pelaku, bukan sama sekali. Justru karena aku sering bertanya dalam hati, ini semua sebenarnya dimulai dari mana, sih?
Aku tahu polanya. Kurang lebih sama. Awalnya biasa saja. Ngobrol ringan. Curhat receh. Ketawa kecil. Lalu jadi rutin. Dari yang tadinya “nggak ada apa-apa”, pelan-pelan jadi “kok nyaman, ya?”. Masalahnya, nyaman itu nggak selalu kelihatan. Nggak ada tanda bahaya. Nggak ada sirine. Tahu-tahu udah di titik yang susah dipisahkan.
Aku sendiri tipe laki-laki yang sebenarnya nggak butuh hubungan emosional dengan orang lain di luar hubungan wajar. Buatku, ngobrol ya ngobrol. Kerja ya kerja. Berteman ya berteman. Aku nggak pernah merasa perlu mencari pelarian, perhatian tambahan, atau tempat curhat selain yang memang sudah semestinya. Makanya, setiap kali mulai ada tanda-tanda seseorang mendekat terlalu jauh, aku justru memilih menjauh. Bukan sok suci. Tapi karena aku tahu batas itu penting. Dan batas, kalau nggak dijaga dari awal, bakal kabur sendiri.
Yang bikin ngeri, perselingkuhan itu jarang dimulai dari niat jahat. Jarang ada orang bangun pagi lalu bilang, “Hari ini aku mau selingkuh.” Kebanyakan dimulai dari rasa kasihan, dari rasa didengar, dari perasaan dimengerti. Dari kalimat sederhana, “Kok cuma kamu yang paham aku.” Dan dari situlah semuanya mulai bergeser.
Aku beberapa kali menemui kasus ini di sekitarku. Bahkan orang-orang yang selama ini kelihatan baik-baik saja. Rumah tangganya kelihatan rapi. Hidupnya terlihat normal. Tapi ternyata menyimpan cerita yang nggak semua orang tahu. Yang lebih berat lagi, ada teman dekatku sendiri yang pernah melakukan itu. Dan anehnya, dia curhat ke aku.
Di situ aku cuma bisa diam lama. Bukan karena setuju, tapi karena bingung harus merespons bagaimana. Aku dengarkan ceritanya. Tentang awalnya yang “nggak disengaja”. Tentang kenyamanan yang datang tanpa diundang. Tentang rasa bersalah yang datang belakangan, ketika semuanya sudah terlanjur. Aku nggak menghakimi, tapi juga nggak membenarkan. Karena di satu sisi aku paham manusia lemah, tapi di sisi lain aku tahu ada garis yang seharusnya nggak dilangkahi.
Yang bikin aku makin sadar, ternyata bahaya itu bukan di hubungan gelapnya, tapi di tahap sebelum itu. Di fase abu-abu. Di zona “cuma teman tapi intens”. Di obrolan yang harusnya bisa dihentikan tapi dibiarkan. Di jarak yang seharusnya dijaga tapi malah didekatkan.
Makanya sekarang, setiap lihat berita perselingkuhan, aku nggak langsung marah atau mencibir. Aku lebih banyak mikir. Tentang betapa rapuhnya manusia. Tentang betapa pentingnya sadar diri sejak awal. Karena kadang, bukan godaan besar yang menjatuhkan kita, tapi kelengahan kecil yang kita anggap sepele.






Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!