Jatuh di Detik Pertama, Mencintai Pelan-Pelan
Apakah aku percaya cinta pada pandangan pertama? Percaya. Bukan versi film yang lebay dengan musik menggelegar dan dunia tiba-tiba slow motion, tapi versi yang lebih sunyi. Tatapan sekilas, cara dia berdiri, caranya ketawa tanpa sadar, atau cuma aura yang entah kenapa langsung nyantol di kepala. Buatku, first impression itu bukan hal sepele. Kadang justru di detik pertama itu, intuisi bekerja paling jujur, sebelum logika keburu ikut campur.
Masalahnya, begitu perasaan itu muncul, aku justru gak pernah jadi orang yang terburu-buru. Aku tipe yang kalau sudah suka, malah melambat. Bukannya langsung mendekat terang-terangan, aku memilih jalan memutar. Pelan-pelan. Setahap demi setahap. Bukan karena gak berani, tapi karena aku ingin perasaan itu tumbuh dengan napasnya sendiri, bukan dipaksa.
Aku gak pernah suka ide menunjukkan rasa suka secara kentara. Bukan sok jual mahal, bukan juga main tarik-ulur. Lebih ke… aku menikmati prosesnya. Aku ingin orang yang aku suka itu merasa nyaman dulu. Merasa aman. Merasa ditemani, tanpa sadar sedang didekati. Aku ingin hadir sebagai seseorang, bukan sebagai “orang yang naksir”.
Kadang aku berpikir, mungkin ini caraku melindungi diri sendiri. Karena ketika aku terlalu cepat membuka kartu, risikonya juga cepat. Terlalu cepat berharap, terlalu cepat kecewa. Dengan melangkah pelan, aku memberi waktu buat diriku sendiri, apakah rasa ini benar suka, atau cuma kagum sesaat? Apakah dia benar orang yang ingin aku kenal lebih jauh, atau cuma pantulan dari imajinasiku sendiri?
Ada kepuasan kecil saat orang yang aku suka mulai terbiasa dengan kehadiranku. Mulai cerita tanpa diminta. Mulai mencari tanpa sadar. Dan di situ aku sering senyum sendiri. Bukan karena merasa menang, tapi karena prosesnya berjalan alami. Tanpa tekanan. Tanpa pengumuman. Kalau akhirnya dia sadar atau tidak, itu urusan nanti.
Tentu saja, cara ini ada risikonya. Kadang aku terlalu lama bersembunyi, sampai perasaanku keduluan basi. Kadang juga orangnya keburu jatuh ke orang lain, sementara aku masih sibuk menyusun langkah paling halus. Di momen seperti itu, aku cuma bisa ketawa pahit dan bilang ke diri sendiri, ya sudah, mungkin memang bukan waktunya.
Tapi tetap, aku gak ingin mengubah caraku mencintai. Buatku, cinta pada pandangan pertama itu nyata. Tapi mencintai setelahnya adalah pilihan sadar untuk berjalan pelan. Untuk mengenal, bukan sekadar memiliki. Dan kalau pada akhirnya cinta itu berbalas, aku ingin itu terjadi bukan karena aku mengejutkan, tapi karena aku konsisten hadir. Karena bagiku, cinta yang baik bukan yang datang dengan gegap gempita, tapi yang tumbuh diam-diam, sampai suatu hari disadari bersama.






Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!