Kita Lebih Betah Nonton Orang Jatuh daripada Tepuk Tangan buat yang Berdiri
Beneran deh, makin ke sini aku makin yakin, kita ini lebih suka melihat orang jatuh daripada melihat orang sukses. Ada kepuasan aneh saat menyaksikan figur publik tersandung, apalagi kalau sebelumnya dia dipersepsikan “tinggi”, “terhormat”, atau “bermoral”. Kayak ada perasaan, nah kan, sama aja kayak kita. Dan media sosial jadi panggung paling rame buat itu semua.
Lihat aja isu yang lagi panas soal dugaan perselingkuhan RK dan AK. Entah kebenarannya seperti apa, entah sejauh mana faktanya, tapi netizen Indonesia bergerak cepat. Bukan cuma mengomentari, tapi menguliti. Timeline penuh analisis, tangkapan layar, potongan wawancara lama, unggahan yang ditarik mundur bertahun-tahun. Semua diseret ke meja sidang publik. Hakimnya? Netizen. Jaksa sekaligus algojonya? Juga netizen.
Aku bisa merasakan betul bagaimana energi penghakiman itu bekerja. Terutama kalau sudah menyangkut perselingkuhan. Nada netizen berubah drastis. Lebih emosional, lebih personal, lebih beringas. Seolah ini bukan cuma soal figur publik, tapi soal luka kolektif. Banyak orang membawa pengalaman pribadinya sendiri ke kasus orang lain. Pernah diselingkuhi, pernah dikhianati, pernah dibohongi, lalu semua amarah itu dilampiaskan ke satu nama.
Yang menarik, menurut pengamatanku sendiri, netizen Indonesia itu unik. Kasus korupsi, yang jelas-jelas merugikan negara, rakyat, dan masa depan bersama, anehnya masih bisa dimaafkan. Masih bisa dinegosiasikan. “Ya namanya juga sistem.” “Semua juga begitu.” “Yang penting kerja.” Tapi kalau sudah selingkuh? Habis. Gak ada ampun. Moralitas jadi harga mati.
Mungkin karena selingkuh terasa lebih dekat. Lebih personal. Lebih manusiawi dalam arti yang paling menyakitkan. Korupsi itu abstrak buat sebagian orang. Angkanya besar tapi jauh. Sementara perselingkuhan itu nyata. Bisa kebayang. Bisa ngebayangin diri sendiri di posisi yang disakiti. Jadi wajar kalau reaksinya lebih brutal, lebih emosional, dan lebih kejam.
Tapi di sisi lain, aku juga melihat ada kenikmatan kolektif di situ. Sensasi menjatuhkan orang yang sebelumnya dipuja. Dari tokoh jadi tumbal. Dari panutan jadi bahan cemooh. Kita ramai-ramai mengumpulkan “bukti”, bukan semata demi kebenaran, tapi demi memastikan: dia pantas jatuh. Dan kita pantas merasa benar.
Yang bikin aku agak merinding, batas antara kritik dan persekusi jadi tipis banget. Kita gak lagi membahas perbuatannya, tapi mulai menyerang pribadinya. Keluarganya. Masa lalunya. Bahkan hal-hal yang sebenarnya gak relevan. Semua jadi sah, selama targetnya sudah dicap bersalah.
Aku gak sedang membela siapa pun. Kalau salah, ya salah. Tapi kadang aku bertanya ke diri sendiri, kenapa kita begitu bersemangat saat ada orang jatuh? Kenapa empati lebih cepat mati saat yang bersalah adalah figur publik? Jangan-jangan, di balik semua itu, ada rasa puas karena akhirnya kita bisa merasa lebih bermoral dari orang lain, walau cuma lewat layar.






Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!