Kita Sama-Sama Kotor, Tapi Sok Paling Wangi


Aku sering mikir, hidup ini lucu tapi juga capek. Isinya orang-orang berdosa yang sibuk nunjuk dosa orang lain, seolah dosanya sendiri punya sertifikat halal. Padahal ya sama-sama salah, cuma beda bentuk, beda bungkus, beda cerita. Tapi entah kenapa, dosa orang lain selalu kelihatan lebih menjijikkan daripada dosa yang kita peluk tiap hari.

Di tongkrongan, di timeline, di ruang komentar, polanya sama. Ada yang marah karena orang lain selingkuh, padahal dia sendiri jujur aja kagak pernah, tapi bohong kecil tiap hari. Ada yang teriak soal moral, tapi hobi merendahkan orang. Ada yang rajin ceramah soal dosa besar, tapi lupa kalau nyakitin orang pakai kata-kata itu juga bukan pahala. Kita ini kayak lomba, siapa yang dosanya kelihatan paling “sopan”, dialah yang berhak menghakimi.

Yang bikin aku makin bingung, orang sering merasa lebih suci cuma karena dosanya beda kelas. Seolah-olah dosa yang sunyi, yang gak kelihatan, gak viral, gak bikin malu keluarga, itu otomatis lebih ringan. Padahal kalau ditanya ke orang yang kena dampaknya, sakitnya ya tetap sakit. Kebohongan kecil bisa bikin orang hilang percaya. Sikap dingin bisa bikin orang merasa gak dianggap manusia. Tapi karena gak ada pasal sosialnya, kita anggap itu bukan apa-apa.

Aku juga gak mau sok bersih. Aku tahu, aku pun pendosa. Dosaku banyak malahan. Tidak pada diri sendiri, tapi juga kepada orang lain.  Dan lucunya, justru orang-orang yang paling rajin ngitung dosa orang lain sering lupa bercermin. Cermin itu mahal, katanya. Lebih murah beli teropong buat lihat kesalahan orang.

Kadang aku ngerasa, menghakimi itu semacam hiburan murah. Gak perlu introspeksi, gak perlu tanggung jawab. Tinggal tunjuk, komentar, lalu pulang dengan perasaan “gue masih mending”. Ada kepuasan aneh di situ. Seolah dengan menjatuhkan orang lain, dosa kita jadi mengecil sendiri. Padahal enggak. Dosa mah gak bisa dikurangi dengan ngeremehin dosa orang lain.

Yang paling melelahkan, penghakiman itu sering dibungkus kepedulian. Katanya demi kebaikan, demi moral, demi norma. Tapi kok nadanya sinis? Kok isinya merendahkan? Kalau niatnya nolong, kenapa yang ditinggal malah luka? Dari situ aku belajar, gak semua yang mengatasnamakan kebaikan itu benar-benar baik. Kadang itu cuma ego yang lagi nyari panggung.

Akhirnya aku sampai di satu titik,  mungkin kita semua butuh sedikit lebih rendah hati. Mengakui bahwa kita ini sama-sama berantakan. Sama-sama pernah salah. Sama-sama masih belajar. Karena selama pendosa masih sibuk menghakimi pendosa lain cuma karena dosanya berbeda, ya lingkaran ini gak bakal putus. Yang ada cuma capek berjamaah, tanpa ada yang benar-benar sembuh.

Comments

Popular Posts