Maaf Itu Tangga, Dendam Itu Lubang — Aku Memilih Naik, Meski Lutut Gemetar


Kadang aku mikir, hidup ini lucu tapi juga kejam. Ada orang yang datang ke hidup kita bukan buat tinggal, tapi buat ninggalin luka. Ada peristiwa yang gak pernah kita rencanakan, tapi dampaknya kayak permanen di kepala. Di titik-titik kayak gitu, pilihan kita sebenarnya cuma dua, naik pelan-pelan pakai anak tangga bernama maaf, atau jatuh pelan-pelan ke lubang yang namanya dendam. Dan jujur aja… gak semua hari aku kuat buat pilih maaf. Tapi aku tau satu hal, kalau aku milih dendam, yang paling duluan rusak itu bukan dia. Aku.

Aku pernah ngerasain gimana rasanya kepala penuh banget. Pikiran isinya muter di situ-situ aja,  “Harusnya gue gak diperlakuin kayak gitu.” “Harusnya dia sadar.” “Harusnya gue bales.” Dan anehnya, tiap kata “harusnya” itu malah makin bikin hati sesak. Bukan bikin lega. Bukan bikin menang. Yang ada cuma capek sendiri, emosional sendiri, dan anehnya… orang yang nyakitin kita mungkin lagi tidur nyenyak tanpa kepikiran apa pun.

Makanya pelan-pelan, dengan ego yang masih sering luka, aku belajar satu hal, maaf itu bukan hadiah buat dia. Maaf itu penyelamatan buat diriku sendiri. Bukan karena mereka pantas dimaafin, tapi karena aku gak mau hidupku dipenuhi kebencian yang gak ada ujungnya. Kebencian itu liar. Kayak api yang kalau dikasih oksigen dikit aja, dia makin gede. Dan lama-lama, kita gak sadar, kita jadi orang yang kita benci.

Aku gak mau hidup dengan kepala yang penuh sumpah serapah dalam diam. Gak mau tidur dengan dada panas. Gak mau tiap inget nama orang itu, tanganku otomatis ngepal. Aku pengen tenang. Beneran pengen tenang. Bukan karena mereka berubah, tapi karena aku memilih gak lagi ngasih mereka tempat di kepalaku.

Memang gak langsung hilang. Maaf itu bukan tombol on/off. Lebih kayak tangga panjang yang kadang licin. Kadang naik, kadang kepleset, kadang pengen duduk aja di tengah-tengah karena capek. Tapi setidaknya, arahku udah jelas: ke atas, bukan ke dalam lubang.

Dendam itu sempit, gelap, dan pengap. Mungkin hangat di awal, karena ngerasa “puas”. Tapi makin lama, makin bikin sesak. Sedangkan maaf itu… walaupun agak berat, bikin ego berdarah dikit, tapi ujungnya lebih lapang.

Sekarang, setiap kali ada luka yang datang, aku mulai nanya ke diri sendiri, “Mau naik, atau mau jatuh lagi?” Dan walau kadang masih goyah, aku tetap pengen memilih naik. Pelan-pelan. Satu tangga. Satu maaf. Satu napas.

Comments

Popular Posts