Pendiam Bukan Berarti Lembut, Tegas Bukan Berarti Jahat
Mungkin… ini cuma mungkin ya. Di balik sikapku yang pendiam, jangan-jangan aku sebenarnya terlalu keras ke orang lain. Bukan keras dalam arti marah-marah atau meledak-ledak, tapi keras dalam standar. Dalam ekspektasi. Dalam caraku melihat sesuatu harusnya bagaimana. Aku jarang basa-basi, jarang membungkus kalimat dengan gula. Dan mungkin di situ masalahnya dimulai.
Aku bukan tipe yang pandai ngobrol kosong. Gak jago senyum sambil ngomong hal-hal yang sebenarnya gak penting. Jadi ketika aku bicara, biasanya langsung ke inti. Dan buat sebagian orang, itu terasa dingin. Terasa tajam. Terasa kayak dihakimi. Padahal di kepalaku, itu cuma efisiensi. Ngapain muter kalau bisa lurus?
Tapi jujur aja, aku sendiri gak sepenuhnya yakin kalau aku benar-benar terlalu keras. Karena dari sudut pandangku, aku cuma menjaga standar. Aku melihat ada hal-hal yang seharusnya bisa dilakukan lebih baik, lebih rapi, lebih bertanggung jawab. Dan ketika orang-orang terlalu santai, terlalu asal, atau terlalu kompromistis, refleksku bukan mengelus, tapi mendorong. Kadang dengan kata. Kadang dengan sikap.
Masalahnya, dorongan itu sering datang sendirian. Cuma aku. Yang lain memilih diam, memilih aman, memilih gak ribet. Jadi ketika aku bersuara, aku terlihat paling galak. Paling cerewet. Paling gak asyik. Bukan karena aku paling benar, tapi karena aku satu-satunya yang gak ikut arus. Dan ya, posisi itu memang rawan dibenci.
Ada kalanya aku mikir, apa aku harus lebih lunak? Lebih banyak basa-basi? Lebih sering pura-pura gak lihat kesalahan kecil? Tapi setiap kali aku mencoba, rasanya gak jujur. Kayak mengkhianati caraku memandang hidup. Aku gak nyaman membiarkan sesuatu yang menurutku keliru hanya demi menjaga suasana tetap hangat.
Yang bikin capek, niat baik jarang kelihatan. Yang kelihatan cuma caranya. Orang gak peduli aku pengin mereka naik level, yang mereka rasakan cuma ditekan. Dan mungkin di situ aku kalah. Bukan kalah argumen, tapi kalah empati yang kelihatan. Aku lupa, gak semua orang siap didekati dengan standar. Ada yang butuh dipeluk dulu, baru didorong.
Kadang aku menerima kenyataan pahit, mungkin aku memang bukan tipe yang disukai banyak orang. Dan mungkin itu harga dari memilih jujur pada prinsip sendiri. Tapi aku juga belajar satu hal pelan-pelan, keras itu perlu, tapi arahkan ke sistem, bukan ke orang. Ke perilaku, bukan ke harga diri. Dan kalau aku ingin orang mendekati standar, mungkin aku juga perlu mendekati mereka dengan cara yang lebih manusiawi.
Aku masih belajar. Menjadi pendiam yang lebih sadar dampaknya. Menjadi tegas tanpa kehilangan empati. Dan kalau sampai sekarang masih ada yang membenciku, ya mungkin itu bagian dari proses. Karena kadang, menjadi diri sendiri memang tidak selalu datang dengan tepuk tangan.





Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!