Takut Doa Burukku Sendiri
Masih nyambung sama obrolan soal orang-orang yang gampang banget ngejatuhin orang lain. Aku jadi kepikiran satu hal yang dari dulu cukup mengganggu kepalaku, soal karma. Entah kenapa, aku ini tipe orang yang takut banget mendoakan keburukan buat orang lain. Bahkan ketika jelas-jelas aku yang didzolimi. Bahkan ketika logikaku bilang, “Wajar kok kalau marah.” Tetap aja, ada rem di dalam kepala. Ada rasa ngeri yang susah dijelasin.
Aku bukan sok suci. Sama sekali bukan. Pikiran buruk itu tetap muncul. Namanya juga manusia. Kadang kepikiran, “Biarin aja dia ngerasain sendiri akibatnya.” Atau lebih ekstrem lagi, doa-doa jelek yang cuma numpang lewat di kepala. Tapi anehnya, setiap kali pikiran itu muncul, aku langsung buru-buru menyingkirkannya. Kayak refleks. Kayak takut banget kalau itu keburu jadi doa.
Entah sejak kapan aku punya ketakutan ini. Mungkin karena terlalu sering lihat contoh. Orang yang mulutnya tajam, doanya sembarangan, hidupnya pelan-pelan berantakan. Atau mungkin karena aku percaya, doa itu bukan sekadar kata. Ada energi. Ada niat. Dan kalau niatnya kotor, jangan-jangan pantulannya lebih cepat dari yang kita kira.
Aku sering mikir, jangan-jangan doa buruk itu kayak bumerang. Dilempar ke orang lain, tapi muternya nggak sempurna, lalu balik nyabet diri sendiri. Dan aku nggak siap sama risiko itu. Aku terlalu penakut, mungkin. Tapi aku lebih takut lagi kalau kebencian orang lain justru jadi racun buat hidupku sendiri.
Padahal, jujur aja, nggak semua luka bisa langsung ikhlas. Ada sakit yang nggak selesai cuma dengan kalimat “ya sudah”. Ada perasaan diinjak, direndahkan, diperlakukan nggak adil. Semua itu manusiawi. Tapi entah kenapa, di titik tertentu, aku selalu memilih berhenti di marahnya saja, nggak sampai ke doanya. Marah boleh. Kecewa silakan. Tapi mendoakan celaka? Aku mundur.
Mungkin ini juga karena aku sadar diri. Aku bukan orang baik-baik amat. Dosaku juga banyak. Kalau aku berani mendoakan keburukan orang lain, sementara aku sendiri penuh cela, apa bedanya aku dengan mereka yang sok jadi hakim di media sosial itu? Bedanya cuma medium. Mereka pakai postingan, aku pakai doa.
Aku nggak sanggup menanggung beban kebencian berkepanjangan. Hidupku sudah cukup ribet tanpa harus nambah satu lagi: rasa takut pada doa-doaku sendiri.
Jadi kalau sekarang aku terlihat terlalu diam, terlalu menahan, atau terlalu cepat membuang pikiran buruk, itu bukan karena aku nggak terluka. Justru sebaliknya. Karena aku tahu, kalau aku larut sedikit saja, aku bisa jadi orang yang aku benci. Dan karma itu, entah nyata atau tidak, terlalu mahal untuk diuji coba.




Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!