Anhedonia : Ketika Hidup Kehilangan Rasa



Dulu, nulis itu semacam tempat pulang. Kalau hari buruk, aku nulis. Kalau hati senang, aku nulis. Bahkan kalau nggak terjadi apa-apa sekalipun, aku tetap nulis. Bukan karena dipaksa, tapi karena memang suka. Menulis itu kayak jalan-jalan dalam kepala sendiri—dan dulu, aku senang menjelajah di sana. Tapi sekarang? Bahkan buka laptop aja rasanya kayak narik pintu lemari yang beratnya segunung. Dan bukan karena sibuk, tapi karena… ya, malas. Nggak ada rasa. Nggak ada greget.


Sialnya, ini bukan sekadar rasa malas biasa yang bisa ditambal dengan kopi hitam atau lagu favorit. Ini beda. Ini semacam rasa tawar yang diam-diam menyelinap ke banyak sisi hidupku. Bangun tidur jadi rutinitas hambar. Makan cuma buat kenyang, bukan buat nikmatin. Nongkrong cuma duduk, senyum secukupnya, lalu pulang dengan kepala kosong. Nggak ada semangat. Nggak ada gairah. Nggak ada "aku" yang dulu.


Aku tahu, orang psikologi punya istilah buat ini: anhedonia. Kedengarannya keren, kayak nama tokoh anime. Tapi isinya… sebaliknya. Anhedonia itu ketika kamu tahu kamu seharusnya senang, tapi nggak bisa. Ketika kamu tahu kamu pernah cinta menulis, tapi sekarang lihat halaman kosong aja rasanya kayak ditusuk pelan-pelan. Nggak berdarah, tapi perih. Nggak mati, tapi juga bukan hidup.


Masalahnya, ketika kita kehilangan minat terhadap sesuatu yang dulu kita cintai, kita juga kehilangan sebagian identitas kita. Aku yang dulu percaya diri karena bisa nulis, sekarang mulai mempertanyakan: siapa aku kalau aku nggak lagi suka nulis? Aku kehilangan jangkar. Dan itu menakutkan. Karena mendadak, dunia yang tadinya penuh makna, sekarang berubah jadi background film hitam putih yang terus diputar ulang—tanpa alur, tanpa klimaks.


sumber foto

Comments

Popular Posts